INOVASIBLOGG-.Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.

“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan
manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah.
Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis.
Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.
Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan
menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras
dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap
berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja
mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak
nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.
Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar
tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya
mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan
berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada
penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para
terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat
lelaukan bertasbih untuk mereka.
Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma
menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ad dokter-dokter yang
rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan
berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali
mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi.
Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.
***
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru
mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa
pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa
tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa
yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas
risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian
untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya
diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb
Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi
mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang
rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik
memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu
mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa
yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya
tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya.
Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan
dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk
mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat
kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya
sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia
mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali
menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih
tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia
muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan
di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan.
Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan
mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan
bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi
dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan
kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di
kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah
mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah
nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak
percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi
semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari
menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang
dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut
ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana
meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama.
Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar
batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak
masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan
eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga,
adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana
hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan
sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah
jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya
gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah
perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun
kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya
di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu
memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru
tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi
asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan
bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan
bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami
bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami
melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega
memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada
adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak
perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak
tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh
menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu.
Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami
kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di
jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali.
Kami kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar.
Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang
awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung.
Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan
katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu
bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit
adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari
anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi
gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya
Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak,
karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak,
ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus
setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu
terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh
tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu
tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon
suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah
teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan,
“Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil
ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang
meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan
kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak
tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari
mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta
doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan
sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari
dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang
buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan
kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab
ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke
dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina
jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam
Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami
menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara
mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya
dengan dosa yang semisal dengannya.”(KLIK HERE)
SEMOGA BERMANFAAT
No comments:
Post a Comment